Renungan Untuk Kamu yang Suka Komentar “Buruan Nikah” di Medsos dan Miskonsepsi dalam Tren Pernikahan Millennials
12:00 PM
Nikah, nikah, dan nikah. Semenjak menginjak usia kepala dua,
saya makin sering ditodong dengan kalimat-kalimat sakti, seperti “Kapan nikah?”, “Buruan nikah!”, atau
dalam bahasa Minang “Baralek lah lai!”. Apakah ini memang
wajar terjadi dikalangan perempuan usia 20-an, atau cuma saya?
Kalimat-kalimat sakti itu nggak hanya keluar dari
mulut-mulut iseng disekitar saya, tapi juga mulai merambah ke dunia maya. When I’m no longer give a fuck for people
talking and doing shits about marriage in real life, these shits even bother me in cyber space!
Entah sejak kapan ini menjadi suatu internet culture amongst
millennials. Internet, khususnya media sosial secara tidak langsung
telah menciptakan budaya baru terkait pernikahan di kalangan millennials.
Kebudayaan yang juga turut memengaruhi kebiasaan millennials yang
bersinggungan dengan pernikahan.
Let’s take a trip to
Facebook, Twitter, and especially, Instagram. Komentar-komentar dengan kalimat sakti “buruan
nikah” atau “baralek lah lai”
ramai berseliweran di postingan media sosial, tanpa peduli konteksnya. These things are getting too much, and I’m sick of it!
Bagaikan tidak peduli akan konteks dari postingan seseorang,
netizen nakal bisa selalu menyelipkan kalimat-kalimat sakti itu dimana saja dan
kapan saja, terutama di kolom komentar dan direct
message. Seringkali ketika mengunggah momen-momen spesial di Instagram
seperti ulangtahun, wisuda, anniversary,
dan lainnya, muncul komentar-komentar seperti:
“Happy birthday,
ya! Semoga bla bla bla...” dan disambung dengan “...buruan nikah!”
“Selamat wisuda ya! Ditunggu ‘wisuda baju merah’-nya
(kata kiasan yang merujuk pada pesta pernikahan)”
“Happy 7th anniversary
ya, kapan nih nikah? Buruan kasih kita
ponakan dong!”
“Congrats ya, udah diterima kerja di perusahan X, tunggu apa
lagi? Baralek lah lai!”
Like, WHY?
Apakah ketika seseorang berulangtahun, maka dia harus
serta-merta segera menikah?
Apakah ketika seseorang diwisuda, maka tidak ada lagi hal
yang harus dicapainya selain memperistri atau menjadi istri orang?
Apakah dengan mendapatkan pekerjaan, artinya pernikahan
menjadi begitu gampang?
Membicarakan pernikahan memang sudah bukan hal tabu lagi di
usia ini. Saya pun sering berguyon tentang keinginan saya untuk segera menikah.
But it seems like people take it too
serious. Saya bahkan dicap sebagai “the most likely to get married soon”
(red: kebelet nikah) oleh teman-teman saya.
Come on, guys. Saya memang ingin menikah. Tapi bukan berarti sebagai perempuan,
satu-satunya tujuan dalam hidup saya adalah menikah, dan bukan pula nilai saya
sebagai perempuan hanya diukur dari status pernikahan semata. Dan ketika saya
bilang saya ingin menikah, bukan berarti saya ingin menikah sekarang juga!
Menikah bukan satu-satunya pencapaian dalam hidup, terutama
bagi saya, dan kalimat “buruan nikah”
yang bertubi-tubi itu, jujur saja, melukai harga diri saya. Memang sebagian
besar komentar-komentar itu hanya bahan candaan, namun disatu sisi, candaan
terkait pernikahan dapat terasa merendahkan,
terutama bagi perempuan, bagi saya. Seolah-olah, satu-satunya yang dapat dilakukan
perempuan adalah menjadi istri seseorang dan melakukan pekerjaan domestik.
Pernikahan merupakan topik yang sensitif, terutama bagi sebagian
orang yang hampir di seperempat abad hidupnya (bahkan lebih) belum menemukan
pasangan, belum merdeka secara finansial, atau belum berniat sama sekali ke
arah sana (entah karena fokus mengejar
karir, atau tidak tertarik sama sekali dengan ikatan hubungan, again, we need
to respect people’s choice, right?), and
these kinds of “buruan nikah” comments
are possible to hurt someone’s self esteem.
Alangkah baiknya untuk melontarkan komentar yang sesuai
konteksnya. Misalnya, ketika temanmu wisuda, alih-alih bilang “buruan nikah”
kamu bisa memberi ucapan selamat dengan mendoakannya agar cepat mendapatkan
pekerjaan. Ketika temanmu ulang tahun, kamu bisa mendoakan agar dia berumur
panjang dan sehat selalu. Atau ketika temanmu mendapatkan pekerjaan, kamu bisa
mendoakan agar dia sukses dalam menjalani karirnya. Simpel, kan? Dan ini jelas
lebih bermakna, ketimbang nyuruh-nyuruh orang untuk cepat-cepat menikah.
Juga entah sejak kapan pula tradisi pernikahan millennial Indonesia mulai bergeser ke arah barat. Banyak diantara pernikahan millennial jaman now yang mengimpor tradisi pernikahan western,
biar apa? Biar seru aja, mungkin.
Kehadiran bridesmaid –
sekelompok perempuan berseragam pengiring pengantin, adalah salah satunya.
Jujur, saya masih bingung dalam mendefinisikan peran bridesmaid dalam tren
pernikahan millennial jaman now. Apa sebenarnya fungsi bridesmaid dalam pernikahan ini? Apa kriteria bagi orang-orang yang
harus dijadikan bridesmaid? Seberapa
krusial kah penggunaan seragam untuk bridesmaid
di acara pernikahan?
Ambiguitas akibat ketidakjelasan terkait standar kedekatan
relasi antara pengantin dengan para bridesmaid
dapat menimbulkan masalah. Kecemburuan antar teman yang mendapat seragam bridesmaid dan yang tidak, mungkin saja
terjadi. Secara tidak langsung, seragam bridesmaid
telah menjadi “label” dari sebuah hubungan persahabatan. Pemberian seragam ini dapat
membangkitkan perasaan “saya memiliki peran penting dalam pernikahan ini” dan
“saya adalah orang yang dianggap spesial
oleh pengantin”, sehingga bisa pula menimbulkan perasaan negatif yang
berlawanan bagi yang tidak kedapatan seragam.
Maka tidak heran kenapa banyak sekali yang terobsesi untuk
menjadi bridesmaid. Lalu efeknya di media sosial? Surely another annoying kind of comment released: “Ditunggu ya, baju seragamnya”, or “Jangan
lupa yah, baju seragam buat gue”.
Pertanyaan saya untuk orang-orang yang suka minta-minta baju
seragam (bridesmaid) di media sosial: “LAH, LU SOKAP COY, MINTA-MINTA SERAGAM DI NIKAHAN GUE? LU PEGAWAI CATERING?"”
Tolong beri argumen yang kuat, kenapa saya harus memberikan baju seragam
untuk kamu di pernikahan saya.
Mungkin sebagian millennial sudah pernah mengunjungi wedding
exhibition, dan tahu betul angka-angka fantastis yang ditawarkan vendor-vendor
pernikahan. Atau sebagian juga pernah melakukan survey terhadap biaya yang harus dikeluarkan untuk menggelar resepsi
pernikahan saat ini, apalagi dalam memenuhi impian resepsi pernikahan bak
Disney Princess yang booming dari publisitas pernikahan seleb di media sosial.
Bagi yang masih buta sama sekali akan biaya pernikahan
millennials jaman now, here a brief
details of millennial’s wedding cost:
Source: www.cnnindonesia.com |
Well, ternyata mau nikah tuh nggak murah ya, gaes. Sekarang
bayangkan jika pengantin harus menanggung beban tambahan untuk membiayai
seragam bridesmaid. Jika estimasi
jumlah anggota bridesmaid (dan bestmen) dari pihak pengantin laki-laki
dan perempuan digabung adalah 20 orang, harga kain per meter sekitar Rp
100.000, setiap anggota membutuhkan minimal 1,5 m kain, maka total biaya yang
harus dikeluarkan adalah Rp 3.000.000! Memang bagi sebagian orang 3 jeti tidaklah
seberapa, tapi menurut Saya, uang sebanyak itu dapat dimanfaatkan untuk
keperluan lain yang lebih urgent (merki banget ya, anaknya).
Dibanding minta-minta bahan baju seragam, alangkah baiknya
pikirkan dulu dari sudut pandang si calon pengantin. Toh jika memang para
sahabat ingin turut memeriahkan pesta pernikahan sang sohib dengan memamerkan
kekompakan, lebih baik saling patungan untuk membeli dan membiayai seragam bridesmaid-nya sendiri, ketimbang harus
membebani si pengantin. Rp 100.000 x 1,5 m jika ditanggung masing-masing pasti
rasanya nggak akan terlalu berat, kan?
Satu lagi budaya pernikahan impor yang sedang tren ditengah
generasi millennnial: Bridal Shower –
merayakan akhir masa lajang dengan menghabiskan waktu bersama para sahabat. Tujuan
diadakan bridal shower sejatinya
adalah menunjukkan kasih sayang dari teman-teman untuk sang Bride to Be di detik-detik terakhir masa
lajangnya.
Kegelisahan saya akan budaya bridal shower di antara
millennial adalah melencengnya esensi dari budaya itu sendiri. Yang saya amati
dari media sosial belakangan ini, bridal
shower tidak lagi menjadi ajang curahan kasih sayang dari sahabat untuk
calon pengantin, melainkan ajang bullying.
Pertama, sang Bride to
Be umumnya dihadiahi daster dan peralatan dapur seperti spatula, yang
menjadi simbol domestikasi perempuan. Kemudian sang Bride to Be didandani seburuk mungkin oleh para sahabat, dan
diarak-arak dimuka umum dalam keadaan yang memalukan. Dan yang terparah, sang Bride to Be juga dijejali dengan berbagai
properti berbau seksis, seperti kondom hingga yang paling parah, kue berbentuk
Mr. P! Ini bukanlah imajinasi saya, atau suatu adegan dari film atau drama yang
saya tonton. Ini nyata terjadi dikalangan millennial. Senyata yang saya
saksikan dari update-an beberapa netizen di media sosial.
Izinkan saya bertanya satu hal: apa makna dari ini semua?. It’s
nothing more than just humiliating a woman! Sementara para sahabat
tertawa-tawa menyaksikan teman Bride to
Be-nya dipermalukan, harga diri dan harkat perempuan sedang diinjak-injak
dalam tradisi yang melenceng ini.
Just be true to your
self, everything’s nothing but to fill your instagram feed, isn’t it?
Jika media sosial tidak pernah ada, masihkah millennial mempertimbangkan kehadiran bridesmaid dan menyelenggarakan bridal shower? Jika millennial lebih condong memikirkan segi efisiensi dana dan esensi sesungguhnya dari
sebuah pernikahan, ketimbang pengalaman “pamer” di media sosial, mungkinkah
sepak terjang industri bridal dan wedding organizer secemerlang sekarang?
Pernikahan pada dasarnya adalah tentang penyatuan dua
individu dan dua keluarga. Pesta pernikahan, sejatinya adalah bentuk pengumuman
untuk memberitahu keluarga, kerabat, relasi, dan sahabat bahwa “Ya, kedua orang ini telah sah menikah, mari
kita rayakan”. Namun di era media sosial, pernikahan menjadi konsumsi semua
orang, from people we dislike to the
completely strangers on earth.
Bukan maksud saya hendak mendiskreditkan millennial yang
pro akan tren pernikahan bak Disney
Princess, bridesmaid, dan bridal shower. Semua sah saja dilakukan,
and if you want it to be shared on your
online page, then, it’s no problem. Namun apa yang perlu dicamkan oleh
millennial adalah:
The wedding is not for the sake of the ‘gram. Nor the other social
media.
Kehidupan pernikahan seseorang bukanlah konsumsi umum. It’s non of your bussiness when people will
get married. Kapan seseorang akan memutuskan untuk menikah, dengan siapa,
dan dengan budaya apa dia akan melangsungkan pernikahan, sama sekali bukan
urusan teman-teman, sahabat, apalagi followers yang hanya dikenali lewat media
sosial.
But when it comes to
share your wedding experience, baik acara proposal, pertunangan, bridal
shower, hingga pengikraran janji suci tersebut dilangsungkan, bagikanlah secara
bijaksana. Jangan bagikan pengalaman pernikahan jika hanya akan mengarah pada
konsumerisme, kesenjangan dan kecemburuan sosial.
Pernikahan adalah soal kehidupan yang sebenarnya, bukan
kehidupan yang diciptakan dalam cyber space. Pernikahan adalah kehidupan yang
akan dijalani bersama dimasa yang akan datang, bukan hanya di hari H pesta
pernikahan.
Sincerely,
Sarah
1 Comments
Wah mbak kita sepaham untuk bridal shower dan bridesmaid :))) saya waktu nikah tahun lalu juga gak bikin bridal shower karena ngerasa gak ada faedahnya. Kalo mau spent time yaudah makan-makan aja sambil ngobrol-ngobrol rasanya lebih ngena deh. Gak perlu repot-repot bikin dekor ini itu. Sayang uangnya hihi
ReplyDeleteTerus soal seragam bridesmaid, karena saya punya 2 kubu geng (jaman kuliah dan SMA) tapi budget terbatas cuma sanggup beli buat 1 geng aja, akhirnya saya gak kasih seragam sama sekali dan jelasin ke temen-temen gimana kondisi saya. Dannnn hari H mereka tetep dateng berseragam yang dibeli pake uang sendiri dooong :"))))