Kenapa Kamu Harus Bersyukur Bisa Buang Hajat di Kloset American St*ndard
12:00 PM
Satu bulan yang lalu, seorang teman di kantor terkena
musibah yang sangat memprihatinkan. Saat wabah Difteri sedang merebak, ia malah
difonis terjangkit: DISENTRI.
Disentri familiar sebagai penyakit “orang susah” yang tinggal di pemukiman kumuh (no offense). Padahal, teman saya ini tinggal di kota metropolitan,
Jakarta, di pemukiman yang lebih dari layak, bukan di bantaran kali Ciliwung. Seketika,
Disentri-nya menjadi bahan olokan orang-orang sekantor.
Disentri adalah
infeksi usus akibat bakteri shigella dan/atau amoeba. Biasanya Disentri
disertai gejala sakit perut dan mencret. Penyebabnya biasanya adalah sanitasi
yang buruk, minimnya air bersih, dan lingkungan tercemar. Makanya, Disentri
disebut-sebut penyakit “orang susah”
(again, no offense).
Tapi yang ingin saya bahas bukan Disentrinya, melainkan
salah satu faktornya: SANITASI.
Sebelumnya saya nggak pernah sebegini concern-nya tentang sanitasi. Bagi saya, hidup di rumah dengan wc
yang layak adalah suatu kewajaran. Bahkan, saya masih sering ngeluh soal
kondisi kamar mandi di rumah. Yang kadang kotor lah, ada kecoa lah, bahkan ada
tikus lah, nggak ada airnya lah, bla bla bla. Padahal di luar sana, masih
banyak orang-orang yang membuang residu dari metabolismenya, alias BAB, di alam terbuka.
Di India, misalnya. Nyaris separuh dari populasinya masih BAB di alam terbuka. Kenyataannya, hidup di India nggak se-enjoy joged
di drama Bollywood. Siapa sangka, negeri yang dramanya jadi menu wajib harian
oleh ibu-ibu se-Indonesia ini punya catatan yang buruk soal sanitasi. Bahkan
pemerintahnya sempat mengadakan kampanye “toilets
before temples”.
Membersihkan
Jamban, Tugasnya Kasta Rendah
Kebanyakan masyarakat di pedesaan di India, masih memilih untuk BAB di alam terbuka.
Ya, kamu nggak salah baca, kok. M E M I L I H.
Kalau udah kebelet, mereka bakal pergi berjalan ke kebun atau di pinggir jalan sambil bawa gayung untuk air cebokan. Bukan karena mereka nggak mampu untuk membangun toilet. Ini semua masalah prinsip.
Ya, kamu nggak salah baca, kok. M E M I L I H.
Kalau udah kebelet, mereka bakal pergi berjalan ke kebun atau di pinggir jalan sambil bawa gayung untuk air cebokan. Bukan karena mereka nggak mampu untuk membangun toilet. Ini semua masalah prinsip.
Pemikiran bahwa berjalan jauh ke semak-semak atau sawah untuk
BAB lebih baik daripada membangun sebuah jamban dekat dengan rumah, masih
dipegang teguh oleh kebanyakan masyarakat India. Sungguh prinsip (yang menurut saya) aneh bin ajaib.
Prinsip yang menjadi barrier bagi
kemajuan sistem sanitasi di India. Prinsip ini disebut: KEPERCAYAAN.
Hingga masa ini, dimana diskriminasi sudah ketinggalan jaman,
masyarakat India masih memegang teguh sistem
kasta. Mereka percaya, seseorang berkasta tinggi nggak level untuk
melakukan pekerjaan kotor seperti membersihkan rumah mereka sendiri, apalagi bersihin
jamban dan septic tank di rumahnya
sendiri. Nay nay nay!
Jadinya, mereka yang berkasta tinggi harus memanggil orang
berkasta rendah yang disebut Dalit untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan “hina”
itu. Belum lagi harus bayar upah si Dalit itu buat bersih-bersih. Kan repot.
Alhasil, mereka justru memilih untuk nggak membangun jamban sama sekali
daripada harus repot-repot.
Haiti ternyata juga punya reputasi jelek menyangkut
sanitasi. Negara termiskin di Amerika ini bisa dibilang payah banget soal
kebersihan. Kalau fakta tentang sanitasi di India cukup mengherankan, mungkin
nggak akan jadi semengherankan itu untuk Haiti, mengingat negara termiskin di
Amerika ini identik dengan poverty,
disease, and disaster.
Kalau di Haiti, sosok Dalit yang tugasnya membersihkan
septic tank disebut sebagai Bayakou. Dengan segala kerelaannya untuk
membersihkan kotoran-kotoran manusia lainnya, sosok Bayakou justru tidak
mendapat apresiasi. Malahan “Bayakou” sendiri dipergunakan sebagai sebutan
untuk menghina, bahan cemoohan, sehingga berprofesi sebagai Bayakou di Haiti
menjadi hal yang sangat memalukan dan patut dirahasiakan, bahkan dari keluarganya.
Sang Pahlawan Jamban
Demikian hinanya kah orang-orang pekerja kasar yang sebagian
memaksa mereka melakukan pekerjaan kumuh seperti membersihkan jamban dan tempat
pembuangan kotoran manusia demi bertahan hidup? Bahkan bagi sebagian orang yang
secara suka rela mengorbankan tangannya untuk menyentuh kotoran itu demi alasan
kemanusiaan.
Sungguh malangnya mereka. Bahkan jika gelar “pahlawan tanpa
tanda jasa” dapat diberikan pada profesi selain guru, para Dalit dan Bayakou
pantas untuk menerimanya. Mereka benar-benar bekerja tanpa tanda jasa, hanya upah yang mereka terima, namun, identitas mereka harus ditutup rapat-rapat kalau tidak mau mempermalukan diri sendiri dan keluarga.
Saya pikir mereka adalah pahlawan. Seperti halnya Pasukan Oranye yang menjadi pahlawan kebersihan ibu kota, Dalit dan Bayakou adalah Pahlawan Jamban.
Saya pikir mereka adalah pahlawan. Seperti halnya Pasukan Oranye yang menjadi pahlawan kebersihan ibu kota, Dalit dan Bayakou adalah Pahlawan Jamban.
Source: Pulitzer Center |
Kalau saya disuruh menguras septic tank, saya pasti bakal
lari terbirit-birit. Jangankan septic tank, saya mungkin harus cuci tangan
pakai sebotol penuh hand sanitizer setelah bersihin wc di kamar sendiri. Mungkin
juga tidak ada dari kita yang menguras septic tank-nya sendiri, kan? Kalau penuh,
tinggal panggil tukang sedot wc.
Saya Juga Pernah
Sudah bebaskah Indonesia dari permasalahan sanitasi?
Jawabannya: belum.
Permasalahan sanitasi, khususnya terkait pencemaran
lingkungan akibat kebiasaan BAB di alam terbuka, sebetulnya adalah concern dari
mayoritas negara berkembang di dunia, khususnya wilayah selatan Amerika,
Selatan Asia, dan sebagian besar Afrika.
Data yang dilansir dari WHO menyebutkan beberapa negara dengan
jumlah penduduk yang masih melakukan BAB di alam terbuka (open defecation) adalah:
1.
India (626 juta)
2.
Indonesia (63 juta)
3.
Pakistan (40 juta)
4.
Ethiopia (38 juta)
5.
Nigeria (34 juta)
6.
Sudan (19 juta)
7.
Nepal (15 juta)
8.
Cina (14 juta)
9.
Niger (12 juta)
10. Burkina Faso (9,7 juta)
11. Mozambik (9,5 juta)
12. Kamboja (8,6 juta).
Source: WHO Library Cataloguing-in-Publication Data |
India masih ranking 1, dan Indonesia ternyata runner up, gaes! Tapi masa sih?
Saya mungkin juga nggak percaya kalau nggak mengalaminya
sendiri semasa KKN (Kuliah Kerja Nyata) Universitas di tahun 2014. Saya ditempatkan
di desa Kudu Ganting, Kecamatan V Koto Timur, Kabupaten Padang Pariaman,
Sumbar. Awalnya saya pikir desa ini adalah pilihan lokasi KKN yang “aman”,
karena lokasinya yang nggak begitu jauh dari kota Padang, namun ternyata, yang
saya takutkan waktu itu benar adanya.
Acara “kebelakang” seperti BAB, mandi, mencuci baju, sampai
dengan memandikan ternak, harus dilakukan di sungai, cukup jauh dari lokasi
rumah tinggal. Begitulah sebagian masyarakat setempat melakukan ritual bebersihnya.
Beruntung, di rumah tinggal saya saat itu (yang kebetulan adalah rumah KaDes)
terdapat sebuah jamban, walaupun ketersediaan air sangat minim, karena bergantung
pada curah hujan.
Sebagian besar masyarakat menampung air hujan pada bak besar
yang disebut “kulah”. Bisa ditebak, kan, bagaimana air hujan yang sudah
tertampung lama di bak terbuka jadinya. Yap, berlumut, berpasir, dan banyak
jentik nyamuk. Namun apa daya, air itu lah yang harus kami manfaatkan sehemat
mungkin untuk terus bertahan hingga hujan mengisi lagi kulah tersebut.
Pastinya saya nggak terbiasa dengan semua ini. nggak satupun
dari anggota regu KKN ini yang terbiasa. Harus jalan jauh (terkadang tarik tiga
naik motor matic di trek off road) untuk mencapai sungai dangkal yang juga
merupakan aliran sawah. Kami mandi, cuci baju, kencing, BAB, sikat gigi, dan
bahkan mencuci pembalut di tempat yang sama, hanya berjarak 1 sampai 3 meter
dengan yang lainnya, bersama-sama dengan perempuan-perempuan lainnya di desa
itu, sementara laki-laki punya tempat yang berbeda, yaitu di aliran sungai yang
lebih tinggi. Walaupun air sungai selalu mengalir, tapi logikanya, aliran air
yang kami pergunakan adalah aliran air yang sama yang digunakan laki-laki dan
warga lainnya di area sungai yang lebih tinggi.
Rasa was-was terhadap kemungkinan terjadinya pelecehan
seksual dan dampak kesehatan, adalah dua hal yang mengganggu pikiran saya kala itu.
Tapi tampaknya, masyarakat sekitar cukup bahagia dengan keadaan yang mereka
rasakan.
Terus Kenapa?
Duh, jangan tanya kenapa deh, karena kalau ini bukan masalah
penting, nggak mungkin ini menjadi perhatian utama WHO. PBB dan WHO gembar-gembor
mengusahakan peningkatan kualitas sanitasi dan penurunan jumlah praktik BAB di
alam terbuka di seluruh dunia. Bahkan Hari Toilet Dunia diperingati setiap tahunnya
tanggal 19 November.
Source: aljazeera.com |
Kenapa? Simply because sanitation is linked to health,
which ended to welfare in general.
Sanitasi yang buruk telah menyebabkan sedikitnya 280.000 jiwa melayang setiap tahunnya
akibat diare, kolera, disentri, hepatitis
A, polio, dan malnutrisi. Seperti kutukan yang nggak berkesudahan di suatu
daerah, padahal penyebabnya nyata merupakan persoalan sanitasi.
Kemiskinan dan kurangnya pengetahuan dasar tentang
pentingnya kebersihan dan kesehatan, ditambah tradisi yang sudah mengakar dari
nenek moyang, merupakan tembok besar yang harus di runtuhkan. Tentu saja
meruntuhkan sebuah tembok tidak mudah jika sendirian. So, bersyukurlah jika kamu bisa menikmati acara buang hajat di wc yang nyaman dengan kloset Americ*n Standard atau T*TO yang konon tebaek lah.
Pada titik ini saya merasa gagal dalam melaksanakan KKN
beberapa tahun silam. Sebagai mahasiswa, seharusnya saya dapat mengupayakan
edukasi terhadap masyarakat desa, terutama anak-anak, tentang pentingnya
kebersihan dan sanitasi yang prima.
PBB, World Bank, dan pemerintah setempat dari berbagai
negara yang mengalami persoalan sanitasi seperti India, Haiti, dan Vietnam, telah
berupaya untuk menekan kebiasaan BAB di alam terbuka dengan menyediakan dana
serta fasilitas wc umum dan membangun saluran pembuangan kotoran.
Sebuah studi WHO pada tahun 2012 menghitung bahwa untuk
setiap US $ 1,00 yang diinvestasikan dalam sanitasi, terjadi kembalinya US $
5,50 pada biaya kesehatan yang lebih rendah, produktivitas lebih, dan lebih
sedikit kematian dini.
Lalu, apa masalah ini bisa ‘whooosh’ disulap dan berakhir
begitu saja?
Jawabannya: tentu tidak. Upaya-upaya tersebut akan
mendatangkan persoalan baru, dan ini akan menjadi kutukan tak berkesudahan
untuk waktu yang sangat lama.
Reference:
National Geographic Indonesia, Agustus 2017
WHO Library Cataloguing-in-Publication Data, Progress On
Drinking Water, Sanitation, and Hygiene: 2017 update and SDG baselines
0 Comments