Memerangi Terorisme di Abad 21 Melalui Pendidikan, Bukan Cuma Pakai Hashtag!

2:12 PM

Image Source: Pinterest

Indonesia siaga satu terorisme. Dalam bulan ini sudah terjadi beberapa kali aksi teror. Diawali dengan kerusuhan di Rutan Mako Brimob Kelapa Dua pada  8 Mei 2018, kemudian disusul dengan ledakan bom di 3 gereja di Surabaya pada 13 Mei 2018, hanya berselang semalam, sebuah bom meledak di sebuah rusun di Sidoarjo, dan esok paginya, 14 Mei 2018 ledakan juga terjadi di Polrestabes Surabaya. Tidak berhenti sampai disitu, teror juga menyeberang ke pulau Sumatera, pada 16 Mei 2018 sekelompok orang tak dikenal menyerang Mapolda Riau.

Terorisme di negeri ini sudah makin meresahkan sehingga saya merasa perlu mengangkat topik ini secara pribadi.
Sejak perpecahan didorong oleh isu ras dan agama mulai pecah di Ambon, Poso, dan Aceh, aksi-aksi radikal pun makin ramai. Layaknya sebuah tren, kelompok radikal Al Qaeda, yang bertanggung jawab atas peristiwa 9/11 bagaikan trend setter di dunia perteroran, yang kemudian melahirkan kelompok-kelompok afiliasinya. Hingga kini, ada berapa nama jaringan teroris yang kamu tahu? Al Qaeda, Jamaah Islamiyah (JI), Abu Sayyaf, ISIS, Jamaah Ansharut Daulah (JAD), masih banyak lagi nama-nama yang jarang terekspos media. Mereka kumpulan orang-orang yang mengaku sebagai muslim, tapi sifatnya takfiri: mereka mengeksklusifkan diri dan meng-kafirkan semua orang yang tidak sepaham dengan mereka.

Mereka menuntut adanya pemurnian, terutama dalam penegakan hukum Islam. Makanya mereka terobsesi menggulingkan pemerintahan untuk mendirikan kekhilafahan atau negara Islam (versi mereka), dan menerapkan hukum Islam (versi mereka) secara total. Mereka menghalalkan segala cara dalam mencapai goal-nya. Bahkan menghalalkan darah umat manusia yang mereka anggap sebagai kafir.

Sebagai seorang muslim, saya tidak ingin dilabel “cuci tangan” akan aksi terorisme yang dilakukan oleh sesama muslim dengan berkoar-koar pakai hashtagh #TerrorismHasNoReligion atau #IslamIsNotTerrorist atau apalah.

Bukan. Bukan saya tidak ingin membela agama saya. Bukan pula saya acuh akan Islamophobia yang terjadi di seluruh dunia akibat terorisme sialan ini. But I think, we can’t just blame people to be phobic at something. Saya merasa tak punya hak untuk marah-marah di internet atas Islamophobia yang dialami orang-orang. Fobia sejatinya muncul karena adanya trauma dan rasa takut yang mendalam. Seperti mereka yang fobia akan ketinggian karena pernah jatuh dari ketinggian di masa lalu, begitu juga dengan mereka yang takut pada Islam. Teror membekas, meninggalkan luka, dan ketakutan, lalu berbuah keparnoan. BUT, we can’t either generalize any religion as terrorist (tak perlu rasanya dijelaskan bagaimana muslim juga dibantai dan dizalimi, ntar malah dibilang berat sebelah).

Suka tidak suka. Terima nggak terima, teroris sial ini memang Islam. Mereka mendirikan shalat, mambaca Al Quran, dan mendalami agama dalam majelis-majelis ilmu. Mereka bertauhid pada Allah, tuhan yang sama dengan yang saya yakini. Mereka melakukan semua kekejaman ini demi membela agama yang diyakininya melalui Jihad yang mereka pahami dalam arti sempit saja: melalui peperangan dan pertumpahan darah. Dibandingkan saya, banyak yang lebih berkapasitas untuk menjelaskan apa arti “Jihad” yang sebenarnya dalam Islam. Tapi intinya, Jihad tidak melulu berarti peperangan. Jihad bisa diartikan dengan kegiatan sesimpel cari duit untuk keluarga, dan belajar biar nggak bodoh. Biar nggak gampang disusupi paham radikal.

Penetrasi Paham Radikal dalam Dunia Pendidikan

Sudah rajin shalat, baca Al Quran, sampai ikut pengajian sana-sini, kok masih bisa terpengaruh ajaran sesat? Berarti alim nggak jaminan untuk kebal dari ajaran sesat? Ya nggak segampang itu, lah. Being religious is not enough, you need to be educated too.

Kita terlalu sibuk bersenang-senang, sampai lengah dari paham radikal yang sembunyi-sembunyi masuk dalam kehidupan pendidikan. Kayaknya para radikal ini punya strategi yang jitu sampai kita tidak menyadari kalau mereka sudah menanam bibit radikalisme dalam institusi pendidikan.

Masih ingat Hatf Saiful Rasul? Bocah 11 tahun yang terbang ke Suriah untuk bergabung sebagai fighter ISIS dan akhirnya gugur disana? Benar-benar usia yang sangat dini bagi seorang bocah untuk memahami arti perjuangan dan dipersenjatai untuk aksi kekerasan. Ada beberapa anak selain Hatf yang ikut terbang ke Suriah tanpa wali saat itu. Mereka diketahui berasal dari suatu pesantren yang terletak di kaki Gunung Salak. Konon pesantren ini misterius dan dicurigai mengajarkan paham radikal (tonton liputan eksklusifnya disini).

Intoleransi yang merupakan cikal dari radikalisme memasuki dunia pendidikan lewat 1001 cara. Bahkan keluar dari mulut seorang guru. Tidak perlu muluk-muluk, bentuk perbedaan perlakuan guru pada siswa yang berbeda agama adalah bentuk intoleransi. Pemaksaan penggunaan atribut-atribut keagamaan dalam seragam sekolah juga bentuk intoleransi. Sedangkan di tingkat yang lebih tinggi, paham radikal berpotensi masuk lewat celah organisasi mahasiswa hingga organisasi masyarakat.

Paham radikal disuntikkan kedalam dunia pendidikan melalui doktrin yang kemudian ditelan mentah-mentah oleh siswa. Doktrin menjadi semakin mudah diadopsi oleh generasi masa kini karena sifatnya yang instan. Praktik pendidikan di Indonesia saat ini cenderung satu arah, tidak terjadi diskusi, tidak ada komparasi dalam aktivitas pembelajaran, dan akhirnya mematikan intelektualitas. Melahirkan fanatisme buta akan suatu ideologi. Buntutnya, siswa, mahasiswa, dan anak muda, dibentuk menjadi seorang berpemahaman literal dan tidak punya daya toleransi.

Lalu, ini juga menyangkut pendidikan moral dan tata krama yang dikesampingkan. Ledakan bom di 3 gereja di Surabaya beberapa hari yang lalu, seperti yang kita tahu, melibatkan 1 keluarga, termasuk wanita dan anak-anak di dalamnya. Ya, anak-anak, usia sekolah. Saksi dari salah seorang teman pelaku bom gereja Surabaya yang masih bersekolah di tingkat SMA pernah memberikan keterangan kalau si pelaku menolak untuk belajar PPkN atau Kewarganegaraaan.

PPkN memang sering dianggap sebelahmata oleh murid, maupun wali murid. Kebanyakan mereka hanya mementingkan nilai akademik pada matapelajaran utama seperti IPA dan matematika. Akibatnya, pelajaran seperti PPkN dan pendidikan agama seringkali dinomorduakan, toh bukan juga matapelajaran yang diujiankan untuk kelulusan. Apa yang terjadi ketika pelajaran-pelajaran itu diabaikan? Terjadi kemerosotan moral. Sulit membedakan tindakan mana yang benar dan yang salah. Tidak memiliki rasa persatuan dan cinta tanah air. Serta tidak memahami ilmu agamanya sendiri.

Image Source: Pinterest


21st Century Skills to Fight Terrorism

Keterlibatan Hatf Syaiful Rasul beserta teman-teman sebayanya, serta keterlibatan anak-anak dalam bom gereja di Surabaya membuktikan kalau target paham radikal bukan lagi orang-orang tua. Bukan lagi dari generasi Baby Boomers dan Gen X yang sudah sepuh dan gagap teknologi. Paham radikalisme dewasa ini menargetkan Millennial dan Gen Z, sebagai generasi muda dengan semangat tinggi, melek teknologi, dan lebih cerdas.

Teroris abad 21 sudah hi-tech, gaes. ISIS saja menyebarkan propaganda dan merekrut anggota lewat internet. Dunia siber memang indah. Millennial dan Gen Z bahkan bisa menghabiskan lebih banyak waktu di dunia maya dibandingkan dunia nyata. Ini menjadi angin segar bagi para radikal untuk melancarkan propagandanya melalui dunia maya, yang juga dalam 1001 cara. Apalagi secara implisit, banyak nilai-nilai intoleran dan paham radikal yang dipenetrasi ke dalam postingan media sosial berkedok media dakwah, namun isinya penuh dengan konten politik, menjatuhkan simpatisan politisi yang satu dan yang lainnya. Like, is that the real form of dakwah? Apakah dakwah memang medium untuk menyebarkan kebencian? Mengkafirkan orang lain? Parahnya akun-akun semacam ini banyak bertebaran di media sosial dan kebal dari report.

Ini alasan kenapa sistem pendidikan harus dibenahi. Bukan dengan menerapkan soal-soal High Order Thinking Skill  (HOTS) secara impromptu di ujian nasional, tapi dengan menggunakan pendekatan baru menyesuaikan dengan kebutuhan perkembangan jaman.

Pendidikan di abad 21 harusnya tidak lsagi hanya bertumpu pada nilai akademis sebagai tolak ukur kecerdasan. Seorang siswa berprestasi juara umum dan mahasiswa teladan IPK 4 sekalipun rentan terdoktrin paham radikal. Lembaga pendidikan harus menerapkan 21st century skills dalam kegiatan pendidikan di abad 21.

Menurut Thoughtful Learning, The 21st century skills are a set of abilities that students need to develop in order to succeed in the information age”.
21st century skills terdiri dari 3 bentuk keterampilan yang terdiri dari:
Learning Skills:
  • Critical Thinking
  • Creative Thingking
  • Collaborating
  • Communicating
Literacy Skills:
  • Information Literacy
  • Media Literacy
  • Technology Literacy
Life Skills:
  • Flexibility
  • Initiative
  • Social skills
  • Productivity
  • Leadership

Seluruh bagian dari 21st century skills pastinya sangat penting untuk dimiliki siswa. Namun, Critical Thinking, Information Literacy, Media Literacy, Technology Literacy, Flexibility, dan Social Skills, menurut saya adalah yang paling penting, terutama kalau kita ingin memerangi terorisme dengan pendidikan.

Dengan kemampuan berpikir kritis, dan kecerdasan dalam bermedia, serta kemampuan memilah dan mengolah informasi dapat mencegah siswa terdoktrinasi dengan paham-paham absurd yang tak jelas dalilnya, siswa dapat lebih kritis dalam menerima sutu ajaran dan tidak lagi hanya menelan mentah-mentah.

Fleksibilitas dan keterampilan sosial tak kalah penting. Fleksibilitas meningkatkan daya toleransi terhadap kemajemukan, fleksibilitas akan mencegah siswa untuk berpikir literal, terutama dalam mengkaji dalil-dalil agama, mencegah miskonsepsi akan jihad yang tertera dalam Al Quran. Keterampilan sosial akan mencegah siswa terjerumus kedalam pergaulan yang salah, menjunjung tinggi moral dan tata krama. 

That’s What We Trully Need

Bukan dengan koar-koar mengutuk aksi terorisme. Bukan dengan hashtag di media sosial. Bukan dengan saling menyalahkan. Bukan pula dengan mendiskreditkan agama, golongan, dan instansi tertentu. Memperkuat pertahanan negeri dengan tenaga para angkatan bersenjata memang perlu. Memperkuat payung hukum dalam memberantas paham radikal dan terorisme juga perlu banget. Namun memberantas terorisme bukan cuma tugas aparat dan pemerintah. Memberantas terorisme adalah tugas semua lapisan. Then, how if we can’t hand the gun, or fix the law? Fight with education! Edukasi diri sendiri, buatlah diri sendiri cukup pintar terlebih dulu agar bisa mengedukasi orang-orang terdekatmu.

Don’t be a fool. Don’t follow the fools.



Sincerely,

Sarah.



You Might Also Like

1 Comments