Netizen' Judgement Towards Child Marriage in Bantaeng, Necessarily Unnecessary

4:45 PM

source: https://assets.teenvogue.com

Baru-baru ini jagat maya lagi heboh karena suatu berita yang gone viral dengan keajaibannya. Netizen ramai-ramai berkomentar either pros or cons di berbagai portal berita online. And these news really were stealed my attention.
“Takut Tidur Sendiri, Siswa SMP di Sulsel Ini Nikah di KUA”,
 begitu salah satu contoh judul yang menjadi headline berita di Line Today waktu itu.


Drama ini berawal dari sepasang siswa SMP, yang laki-laki berinisal SY, dan yang perempuan berinisial FA, mendaftarkan pernikahannya di Kantor Urusan Agama (KUA) Bantaeng, Sulsel. Kendati usia pasangan ini belum cukup untuk melakukan pernikahan secara hukum, yaitu pasal 7 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang jelas-jelas menerangkan bahwa batas usia minimal untuk menikah adalah 16 tahun bagi perempuan, dan 19 tahun bagi laki-laki. Sementara SY masih berusia 15 tahun, dan FA masih 14 tahun, dan keduanya masih duduk di bangku SMP (waktu saya masih seusia FA, boro-boro kawin, ngobrol sama cowok yang ditaksir aja rasanya awkward -_- ). Plus, dimata hukum, mereka masih tergolong bocah, alias anak-anak (dibawah 18 tahun).



Despite alasan “takut tidur sendiri”-nya yang sangaaaat ajaib, “faktor u” ini sudah pasti jadi pertimbangan bagi KUA setempat untuk mengajukan penolakan. Tapi yang jelas, dari semua cerita romance, pemeran utama pasti akan melakukan segala cara demi cinta, dan perjuangan pasangan ini akhirnya mendapat dukungan dari pihak keluarga yang turut membantu mengajukan dispensasi dan kemudian dikabulkan oleh Pengadilan Agama Bantaeng, sehingga mereka tetap bisa menikah.

The end of the fairy tale? No way.

A Long Story Short About Child Marriage

Fenomena serupa yang terjadi pada SY dan FA bukan hal baru dan mengejutkan, sih. Apalagi di Indonesia. Perkawinan anak sebetulnya adalah permasalahan global yang melintasi batas negara, budaya, agama, dan etnis. Perkawinan anak adalah permasalahan menahun yang umumnya terjadi pada negara-negara berkembang, dan perempuan adalah mayoritas subyeknya.

Menurut www.girlsnotbrides.org, Indonesia menduduki peringkat ke-8 dari 20 negara dengan jumlah mutlak perkawinan anak tertinggi, yang diperoleh dari jumlah perempuan berusia 20-24 tahun yang telah menikah sebelum berusia 18 tahun. Dari riset yang dilakukan UNICEF Indonesia tahun 2016 yang berjudul Child Marriage in Indonesia: Progress on Pause, kecenderungan perkawinan anak di Indonesia tetap tinggi dari tahun ke tahun. Sejumlah riset sudah dilakukan dan banyak pihak telah turun tangan dalam penanganan fenomena perkawinan anak. The main causes for most of the cases are always around economic, religion, and traditional factor.

Perkawinan anak jadi strategi dalam pertahanan ekonomi keluarga. Most of child marriage cases are pushed by poverty. Perempuan, dianggap sebagai suatu “aset” bagi keluarga yang dapat menyokong perekonomian dengan cara dinikahkan. Tradisi kontemporer, norma dan kebiasaan yang berakar sejak zaman nenek dan kakek, atau bahkan buyut kita dahulu yang menikah di usia muda. Nggak jarang, pun dari mereka yang akhirnya tidak menamatkan pendidikan karena keburu dikawinkan oleh keluarganya. Pandangan usang seperti “perempuan tidak memerlukan pendidikan karena akan bermuara di dapur juga” masih melekat di masyarakat tradisional hingga saat ini. Terutama di daerah yang nilai-nilai patriarkalnya masih kental.

Selain itu, perkawinan anak dianggap sebagai metode proteksi terhadap anak perempuan dari premarital sex dan sexual harrasment. Nah, yang satu ini bukan cuma pandangan masyarakat rural kontemporer, tapi juga masyarakat urban modern. Terlebih dengan munculnya campaign-campaign religius yang menentang hubungan pra-nikah (pacaran) di berbagai media sosial. Dari yang judulnya Indonesia Tanpa Pacaran, lah, whatever you name it, semua gerakan ini punya tujuan yang sama: meyakinkan bahwa relasi antar lawan jenis diluar pernikahan adalah hal yang dapat memancing perzinaan, dan satu-satunya cara yang ditawarkan untuk menghindari perzinaan adalah menikah.

Lalu apa dampaknya? Saya yakin masyarakat kini sudah semakin terdidik tentang bahaya perkawinan anak. Karena kalau bicara dampak, bisa jadi nggak ada habisnya. Perkawinan anak akan berdampak pada kesehatan reproduksi. Perkembangan sistem reproduksi anak yang belum sepenuhnya matang, serta minimnya pendidikan seks, sangat membahayakan bagi perempuan, khususnya. Kehamilan dan persalinan di usia belia, seperti yang kita tahu, sangat beresiko terhadap ibu dan bayi.

Bagaimana tentang kesiapan mental anak dalam menjalani kehidupan rumah tangga? Seberapa besar pemahaman anak tentang hak dan kewajiban antara suami-istri? Mereka yang menikah tentunya harus paham bahwa kehidupan pernikahan bukan cuma soal seks dan pekerjaan domestik. Ketidakpahaman soal ini bisa berujung pada kesenjangan gender, kekerasan dalam rumah tangga, dan buntutnya perceraian.

And finally these leads to a never ending poverty. Anak-anak yang menikah di usia sekolah tidak diperkenankan untuk kembali ke sekolah. Kebanyakan peraturan sekolah mengatur status perkawinan siswanya. And then what? They’ll be dropped out from school, ended their education uncompleted, lalu endingnya bisa ditebak, mereka hanya dapat bekerja di sektor ekonomi informal, di sektor agrikultural, dan sebagainya, sehingga tidak kunjung memperbaiki taraf perekonomian keluarga. Lalu mereka akan menghasilkan keturunan yang berpotensi untuk bernasib sama karena ketiadaan ekoknomi, menikahkan anak-anak mereka di usia dini layaknya mereka dahulu, dan siklus pun berlanjut.

source: Giphy


But They Don’t Deserve The Humiliation

Perkawinan anak bukanlah solusi atas permasalahan kemiskinan dan metode perlindungan anak terhadap seks pra-nikah. Berbagai riset, sosialisasi, akses pendidikan, dan sebagainya, nyatanya belum berhasil memberantas praktek perkawinan anak. Merubah pola pikir dan kebiasaan yang sudah melekat bertahun-tahun itu bukan perkara mudah. Upaya untuk membela hak-hak anak ini juga jadi sia-sia terlebih jika memang perkawinan itu datang dari keinginan mereka sendiri. Seperti SY dan FA. Mau viral seperti apa dan di komentari setajam apapun oleh netizen, tidak dikabulkan oleh KUA, sampai dilarang oleh Menteri Agama sekalipun, toh mereka tetap kekeuh untuk menikah. Kalau memang tekad mereka sudah bulat, mau apa lagi, yha khaan?

Semua orang berhak menentukan pilihan hidupnya sendiri, selama mampu untuk menanggung resiko atas pilihan tersebut. Sialnya, ranah privasi SY dan FA sudah terlanjur jadi konsumsi publik. Alasan ajaib “takut tidur sendiri”-nya yang selucu itu telah sukses membuat pasangan ini famous seketika. Thanks to the internet. They’re become famous but lot of people judged them badly. Komentar netizen memang tidak bisa di bendung, dan segala komentar miring tentang mereka bisa saja justru memperparah kondisi psikologis mereka yang unstable dalam menghadapi kehidupan pernikahan nantinya.

Walaupun yang mereka lakukan, perkawinan anak, adalah hal yang ditentang banyak orang, namun sejatinya mereka hanyalah bagian dari praktek perkawinan anak yang sudah dianggap lazim oleh lingkungan sekitarnya. Adanya judgment dari orang-orang dengan pola pikir berbeda membuat mereka tertekan dan merasa disalahkan. Padahal niat mereka hanyalah menjalankan sunah rasul, tapi cacian yang mereka dapat seolah-olah mereka melakukan dosa.

Kemana netizen saat ratusan, atau bahkan ribuan kasus perkawinan anak terjadi di seluruh dunia? Nobody seems like they care about any specific social issues, unless it sounds silly like a joke. Jikalau bukan karena bumbu-bumbu yang diimbuhkan para jurnalis online di berbagai portal berita itu, mungkin SY dan FA hanya akan menjadi masalah perkawinan anak biasa. Mungkin berita pernikahan mereka juga tidak akan sampai ke telinga pak Menteri.

source: Giphy

Netizen begitu mudah terpancing dengan judul-judul clickbait seperti "Heboh! Siswa SMP di Bantaeng Ini Nikah Karena Takut Tidur Sendiri", atau "Sepasang Siswa SMP di Bantaeng Menikah di KUA, Ini Fakta-Faktanya!", padahal berita-berita itu sangat miskin konten, dan nggak jarang juga terselip maksud untuk menggiring opini publik. Minimnya tingkat literasi media yang dipunyai netizen sukses membuat segala berita tersebut diamini netizen, lalu menghasilkan feedback sesuai keinginan penulis: kontroversi. Tujuannya apalagi kalau bukan demi jumlah view dan share.

Padahal fakta-fakta dalam berita itu hanya puncak dari gunung es, but who cares, as long as netizen got something to judge, tidak ada yang peduli latar belakang yang sebenarnya dan dampak dari berita tersebut bagi yang diberitakan. Semua cemoohan dan judgement  dari jutaan orang-orang asing yang bahkan tidak pernah bertemu mereka in person, mau tidak mau harus dihadapi oleh pasangan belia ini.

Terlepas dari seberapa buruknya keputusan yang mereka ambil menurut kita, namun pernikahan mereka masihlah bagian dari hak asasi mereka. Terlepas dari seberapa prihatinnya kita akan masa depan mereka, tidak ada satu orang pun yang berhak untuk mencampuri urusan pribadi mereka, apalagi sampai menertawakan keputusan mereka.

If we really care and concern about child marriage, we don’t need to humiliate them. Seberapa ajaib pun alasan mereka untuk menikah, humiliating them will not solve anyything. Angka perkawinan anak tidak akan serta-merta jadi turun karena judgement yang dihujankan netizen terhadap mereka. They’re just still don’t get it, kenapa orang-orang begitu menentang perknikahan mereka. Tidak ada pemahaman yang akan mereka peroleh dari judgment netizen, melainkan rasa malu. What we really need is a proper socialization and education towards child marriage.

Sincerely,


Sarah



Referensi:
UNICEF, Child marriage in Indonesia: Progress on pause, 2016. (PDF)
UNICEF, Innocenti Digest No. 7: Early Marriage Child Spouse, 2001 (PDF)

You Might Also Like

4 Comments

  1. Bagi saya, menikah itu tidak sekedar untuk menyatukan pasangan, menahan zina, dan setwrusnya; tapi juga menyiapkan generasi penerus, mendidik anak yang (mungkin) kelak lahir dari pernikahan tersebut. Okay, ga boleh pacaran, tapi anak pun juga harus disiapkan untuk menjadi orangtua. Dan menurut saya, kalau sudah disiapkan menjadi orangtua, kemungkinan kecil juga mereka akan nikah muda. Well, pemikiran yang keren kakak... Tidak perlu dihujat, tapi kita juga perlu menyiapkan edukasi yang dapat menjauhkan dampak buruk pernikahan dini 😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks for stopping by blog ku, mba :)
      It's true that, menikah kan bukan satu2nya cara untuk menghindari zina.
      Yah, mengedukasi masyarakat tentang nilai-nilai baru emang susah susah gampang.

      Delete
  2. I do like tulisanmu mba.. Berimbang dan bahasa penyampaiannya baik mesti tegas.
    Sy sendiri tdk setuju dg perkawinan dibawah umur. Masih banyak yg bisa dilakukan ketika blm saatnya menikah. Hanya saja gak dipungkiri di kampung2 masih banyak ortu/anak2 yg menginginkan perkawinan dini. Salah satu alasannya agar mengurangi beban ekonomi keluarga. Apalagi jika dapat calonnya yg lebih berada. Biasanya ortu jg jd yg paling semangat ngawinin anaknya. Setidaknya itu yg terjadi di tetangga desaku. Kita yg dengar bisa apa? Paling memberi masukan sedikit, selebihnya bukan wewenang kita utk memaksakan masukan kita diterima karena toh bukan kita jg yg membiayai/meringankan ekonomi keluarga tsb.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks for stopping by blog ku, mba :D
      it's so sad, but we can''t do anything kalau ngga mau dibilang ikut campur urusan pribadi orang :(

      Delete