Kenapa Fenomena Working Wife Begitu Problematik di Negara Ber-Flower?

10:30 AM


First post di 2020! Postingan pertama tahun ini saya dedikasikan untuk topik hangat yang nggak ada habisnya jadi problematik di negara berflower ini. Working wife hampir selalu jadi momok bagi setiap pasangan. Bahkan jauh-jauh sebelum menikah, banyak pasangan (including me and my bf) jungkir-balik mendiskusikan ini.

This is indeed a crucial issue in marriage life. Dan, ya, ini memang harus didiskusikan bareng pasangan. Bahkan perdebatan tentang working wife ini nggak cuma berada di level pasangan saja, tapi sampai level (calon) mertua. Saya dan Bang Pacar bahkan nggak ada habisnya ngomongin perihal apakah saya nanti harus bekerja atau tidak setelah menikah. Bahkan kami bisa sampai level lomba debat SMA tingkat provinsi 😅.

Here’s the cores of our debate:
  1. Saya sekarang masih berstatus mahasiswa pascasarjana yang belum punya pekerjaan tetap, tapi ingin berkarier.
  2. Bang Pacar adalah seorang pegawai baru di salah satu BUMN, yang sudah menyetujui poin “BERSEDIA DITEMPATKAN DISELURUH WILAYAH REPUBLIK INDONESIA”.
  3. We both agree that long-distance marriage is not fit for us, because physical touch and quality time are our love language, that’s impossible to obtain if we’re separated by distance.
But before I continue, a little disclaimer: I don’t meant to accuse or generalise men or family at all. Saya sendiri belum menikah dan mungkin opini saya terdengar naif. Saya pun bahkan belum tau karier saya ke depannya (iya, iya. nggak punya perencanaan banget anaknya emang).

“Udah, kamu nggak usah kerja. Di rumah aja tungguin aku. Biar aku yang cari uang buat keluarga kita.”

“Cari duit biar urusanku, kamu fokus aja ngurusin anak-anak.”

Women, what do you think, when a man (that is your husband by a chance) told you that?

Beberapa perempuan mungkin melting dan menganggap kalimat-kalimat di atas romantis. Bahkan si suami sukses membentuk self-image sebagai “lelaki bertanggung jawab” di mata istri.

Same energy with para orang tua dan (calon) mertua yang bilang:

"Nanti mending kerja jadi X aja, biar punya banyak waktu di rumah."

"Mending kalau udah punya anak berhenti kerja. Jangan kaya si X, lihat tuh gara-gara istrinya sibuk cari duit anaknya jadi nggak keurus!" (julid mode: activated)


Source: Giphy
Kalimat-kalimat diatas justru terasa  limiting, intimidating dan underestimating bagi sebagian perempuan. Sebab jujur kalimat-kalimat itu tidak sama sekali terdengar seperti sedang “memuliakan perempuan” bagi saya. Malahan terkesan seperti mengkotak-kotakkan peran gender diantara laki-laki dan perempuan.

Suami adalah tulang punggung keluarga yang bertanggungjawab atas keluarga. There’s no doubt about it. Our religion teachs us. But thoughts like women are always seen as complementary in the context of livelihood is not the part of religious teachings. It’s socially constructed. Hal ini pasti nggak bakal jauh-jauh dari peran gender yang sudah kepalang tanggung jadi DNA dalam budaya patriarki.

Peran gender seolah-olah mendikte apa yang harus dilakukan laki-laki dan perempuan. Laki-laki di kantor, perempuan urus pekerjaan domestik. Bahkan sedari kecil anak laki-laki & anak perempuan sudah diberi distinctions. Mulai dari pilihan warna (laki-laki biru, perempuan pink) hingga pilihan mainan (laki-laki mobil-mobilan atau pistol-pistolan, perempuan boneka bayi atau mainan masak-masakan) yang akhirnya berujung jadi pemahaman bersama di lingkungan sosial tentang peran istri dan suami. And when women try to take what society believes as “man’s role”, that’s become problematic.

Karena terlalu problematiknya, bahkan banyak cara melimitasi peran perempuan di dunia kerja: perempuan dianggap tidak lebih kompeten dibanding laki-laki, diberi upah yang tidak setara dengan laki-laki, bahkan dianggap sebagai penyebab tingginya angka pengangguran.

Wait, WHAT?

Ini beneran, lho. Suatu hari saya mendapati seorang yang saya kenal me-repost postingan dari akun “so-called” dakwah di Instagram. Kira-kira begini bunyi postingannya:

Gemes yah, bacanya? Saya juga. Akun-akun kayak begini, nih yang bikin stigma negatif terhadap perempuan bekerja laku keras di negara +62.

First, logika seperti ini jelas saja menyimpang. Jaka Sembung makan gulali, nggak nyambung kaliiiii (okay, pantun jayus mode activated). Second, nggak ada fakta dan data sama sekali yang melandasi statement ini, 100% statement diramu dengan emotional-appeal belaka. Third, yang banyak komentar memang kaum adam, gaes, hahaha. Taruhan deh, yang bikin ini post adalah laki-laki.

Talking about data. Menurut data Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dari BPS, masih ada ketimpangan partisipasi antara laki-laki dan perempuan. Pada Agustus 2018 tercatat TPAK laki-laki sebesar 82,69 persen, sedangkan TPAK perempuan hanya 51,88 persen. Jadi sebenarnya masih ada gap yang cukup besar dalam keterlibatan ekonomi perempuan. Untuk masalah pengangguran, para expert di bidang talent development nggak pernah nge-claim kalau penyebab banyaknya pengangguran karena wanita yang bekerja, tapi karena nggak seimbangnya supply & demand antara kebutuhan industri & kompetensi SDM yang tersedia.

Source: unwomen.org
Lalu, apa lagi yang bikin fenomena working wife begitu problematik?

Toxic Masculinity

Perempuan yang bekerja karena gengsi? Banyak. Tapi, perempuan yang tidak bisa bekerja karena dianggap menjatuhkan gengsi pasangan juga banyak. Salah seorang teman pernah ditanya tentang bagaimana jadi istri yang baik. Coba tebak jawabannya. Dia menjawab “dengan menjadi terlihat lemah di depan suami, agar suami merasa kuat dan menjadi pelindung”.

Duh, maaf teman, tapi kita tak sependapat. If he’s really a strong man, then we don’t need to pretend like we’re the weak one. Anggapan bahwa “kodrat” perempuan adalah lebih lemah dari laki-laki adalah bentuk toxic masculinity. Itu sebabnya ketika perempuan lebih unggul dalam satu hal dibanding laki-laki, dianggap merusak tatanan sosial yang ada. Seorang laki-laki nggak perlu merasa minder hanya karena pasangannya lebih baik dalam satu atau dua hal. Lagi pula setiap orang, termasuk perempuan, diberkahi dengan kelebihan masing-masing, kan?

Vibes yang sama saat si suami melarang istri bekerja untuk menunjukkan rasa tanggung jawabnya. Hey, that’s not how you show it. Masih banyak cara lain untuk menunjukkan responsibility.

In the end of the day, jika kedua belah pihak sama-sama sepakat agar istri tak bekerja, then it’s not a burden. Yang jadi masalah ketika ada paksaan yang didasari alasan-alasan toxic masculinity seperti di atas. Lalu, beruntunglah buat mereka yang sudah diberkati kekayaan yang mengalir sampai jauh kayak pipa Ruc*ka. Tapi bagaimana dengan mereka yang kondisi ekonominya pas-pasan? Peran istri yang bekerja akan sangat membantu keluarga untuk keluar dari financial insecurity.

“Yah, kalau istri mau bekerja, kan bisa yang nggak keluar rumah. Bikin olshop aja gitu.”

Ya, ngomong mah gampang, Bambang! Sayangnya nggak semua perempuan juga diberkahi dengan kesempatan ekonomi yang sama. Some women are gifted by capital, but some others are not. Nggak semua perempuan juga kali, yang punya bakat berdagang, kecuali dia uni-uni Padang atau cici-cici Glodok (yhaaa stereotiping deh, lol). Lagi-lagi, setiap orang punya jalan dan pintu rejeki masing-masing, bukan begitu?

Women Just Seen As A Passive Entity

Last but not least, setiap individu punya pemaknaan yang berbeda akan konsep karier. Perlu diketahui, karier bukan melulu soal perekonomian, bukan cuma tentang cuan. Sebagian orang memandang karier sebagai wadah untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri dan kebutuhan personal lainnya.

Pernah dengar Maslow’s Hierarchy of Needs? Sejatinya ini adalah teori dalam ilmu psikologi yang dikembangkan oleh Abraham Maslow. Menurut teori ini, manusia tuh punya banyak tingkatan kebutuhan. Mulai dari yang paling dasar berkaitan dengan kebutuhan fisiologis, rasa aman, rasa dicintai dan rasa memiliki, self esteem, hingga yang paling tinggi, kebutuhan aktualisasi diri. Manusia akan cenderung untuk memenuhi segala tingkatan kebutuhannya. Jika salah satunya tidak terpenuhi, well, welcome insecurity. 

Kebutuhan fisiologis dan rasa aman mungkin saja pemenuhannya bisa diperoleh dari orang lain. Sementara itu, karier dalam hal ini bisa berada di posisi self-esteem needs atau self-actualization needs, dimana kedua kebutuhan ini belum teentu, atau bahkan nggak mungkin untuk dipenuhi oleh orang lain, sekalipun suami sendiri!

So, jangan menyederhanakan makna karier hanya sebagai sarana mencari nafkah. Lebih dari itu, karier juga dianggap sebagai sarana pemenuhan kelima tingkatan kebutuhan ini. Apakah suami bisa sendirinya otomatis memenuhi seluruh tingkatan kebutuhan istrinya? Unless thay had super powers, then they can’t.

Stop seeing your wife as an object that has to obey everything you told her as a “leader”. Look at her as she is a mere human being. Perempuan juga punya kebutuhan, keinginan, dan cita-cita. Respect them as you want to be respected as well.

Well, ini sih opini saya, sebagai seorang anak baru gede (yang hampir seperempat abad) dan dianggap “tau apa sih tentang pernikahan?” orang masih single. But hey, why don’t we try to open our eyes and mind?


You Might Also Like

0 Comments