Perlu Nggak Sih KPID Jabar Membatasi Penayangan Versace on the Floor?

10:00 AM

Source: Pinterest


Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat merilis daftar 17 lagu berbahasa Inggris yang dibatasi penayangannya pada media mainstream (radio dan televisi) yang ada di wilayah frekuensi Jawa Barat. Diantara 17 lagu yang terdaftar dalam “17 Lagu Terlarang KPID Jabar” itu, umumnya adalah top hits pada jamannya, yang pasti punya permintaan yang tinggi dari para audiens. Ada dua lagu milik Bruno Mars, yaitu Versace On The Floor dan That’s What I Like. Selain itu, Shape of You milik Ed Sheeran, Dusk Till Dawn dari Zayn Malik feat Sia (which is my favorite), hingga Mr. Brightside dari The Killers yang notabene sudah tempoh doeloe banget itu. pembatasan ini terkait adanya kandungan unsur vulgar dan seks dalam lagu, sesuai dengan standar pedoman siaran pasal 20 ayat 1.


Merasa keberatan, Bruno Mars dalam akun twitternya @BrunoMars sampai angkat bicara soal lagu-lagunya yang dibatasi.
Source: Twitter

Sebagai salah seorang penikmat musik, pastinya saya kaget dengan adanya pembatasan penayangan lagu-lagu itu. It makes me questioning, whyyyyyy? Nah, pada 8 Maret 2019 lalu, finally, KPID Jabar bersama dengan Pusat Studi (Pusdi) Komunikasi, Media, dan Budaya Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad mengadakan Dialog Publik “Menyikapi Pembatasan Siaran Lagu Oleh KPID Jawa Barat” yang bertempat di kampus Fikom Unpad Jatinangor. Dialog publik ini dihadiri oleh perwakilan KPID Jabar, Ketua Pusdi Komunikasi, Media, dan Budaya Fikom Unpad Dr, Eni Maryani, praktisi hukum Muhammad Zen Al Faqih dan musisi Hinhin Agung Daryana sebagai pembicara. I got a chance to attend this event and I expected some “enlightments” from this Dialog Publik related to this issue. So here, I’ll summarize you what is it about.

1. Pembatasan bukan Pelarangan (?)
KPID dalam surat edaran bernomor 480/215/IS/KPID-JABAR/II/2019, memberlakukan pembatasan penyiaran terhadap 17 lagu berbahasa Inggris. Pembatasan ini hanya berlaku bagi lembaga penyiaran atau media yang melakukan siaran di wilayah frekuensi Jawa Barat saja, yang jumlahnya ada 417 lembaga penyiaran. Don’t worry too much about your favorite songs. You still can listen thru media nasional or media lokal outside Jawa Barat. Yet, you still absolutely can listen thru streaming media like YouTube and Spotify. Wewenang KPID Jabar hanya sebatas wilayah provinsi Jawa Barat, dan KPI juga KPID juga nggak punya wewenang untuk mengatur siaran pada media streaming. Apalagi konser. Anehnya ada beberapa pihak melakukan protes terkait kebijakan ini karena khawatir soal konser artis yang bersangkutan. Padahal, konser musik bukan berada di koridor KPI apalagi KPID buat mengatur.
Menanggapi banyaknya protes hingga ke DM akun instagram pribadinya, ketua KPID Jabar, Dedeh Fardiah menegaskan kalau ini BUKAN PELARANGAN, melainkan hanya PEMBATASAN. Pembatasan dilakukan lantaran ke-17 lagu tersebut dianggap termasuk dalam kategori Dewasa (D) sehingga penayangannya cuma bisa dilakukan di jam dewasa, yaitu dari pukul 22.00 sampai pukul 3.00. Berseberangan dengan pernyataan Bu Dedeh, Pak Zen, meninjau dari kacamata hukum, menilai kalau hal ini jelas-jelas adalah larangan. Gimana engga larangan? Jika sejumlah lagu baru dapat ditayangkan diatas pukul 22.00, artinya sebelum pukul 22.00 lagu-lagu tersebut TIDAK DAPAT disiarkan. Lembaga penyiaran yang menayangkan lagu-lagu tersebut sebelum pukul 22.00 akan mendapat teguran. Jadi dengan kata lain, penayangan lagu-lagu tersebut sebelum pukul 22.00 dilarang, kan?

2. Berawal dari pengaduan
Munculnya kebijakan pembatasan penayangan 17 lagu ini terkesan sangat tiba-tiba. Saya juga kaget begitu lihat beritanya di Line Today beberapa hari lalu. Rasanya baru aja dunia agak tenang sejak gonjang-ganjing RUU Permusikan. Hal ini bikin bertanya-tanya, kenapa ujug-ujug muncul kebijakan seperti ini? Sebenarnya siapa dalang dibalik kebijakan ini? banyak juga pihak yang merasa bahwa KPID Jabar tidak mensosialisasikan rancangan peraturan ini pada beberapa pihak terkait, misalnya pihak broadcaster dan musisi, sebelum mulai diberlakukan.
Sebenarnya, sebuah lembaga negara tidak mungkin mengeluarkan sebuah kebijakan secara tiba-tiba. Pembentukan sebuah peraturan dan kebijakan selalu melalui proses pajang dan mengikuti alur kerja tertentu. Pembuatan sebuah kebijakan juga pasti melalui beberapa pertimbangan.  Pertimbangan datang dari adanya sejumlah pengaduan dari masyarakat ke KPID Jabar sejak Agustus tahun lalu. Menurut Bu Dedeh, terdapat sejumlah 52 aduan yang masuk, kemudian aduan tersebut melalui proses pemantauan, kajian, dan rapat dengar pendapat ahli termasuk ahli bahasa dan sastra Inggris, ahli musik, dan komunikasi, sehingga menghasilkan output berupa daftar 17 lagu berbahasa Inggris yang dibatasi penayangannya, yang dituangkan ke dalam surat edaran.
Jika sebuah peraturan dibuat demi kemaslahatan orang banyak, maka peraturan tersebut haruslah mewakili suara dari banyak orang. Menurut saya, 52 aduan bukanlah sebuah angka yang massive untuk menjadi sebuah bahan pertimbangan. Selain itu, minimnya standarisasi aduan menjadi problem apabila menggunakan aduan masyarakat sebagai pertimbangan. Kriteria aduan seperti apa, sih, yang bisa menjadi sebuah pertimbangan?
“Yha Gw MaW nGaDuiN lAgU iNi SoAlNya gW nGgA sUkA aJa, TiTiK”
“YhA Gw MaW nGaDuiN lAgU iNi SoAlNya gW nGgA sUkA aMa BrUnO mArS, Gw SuKaNya AmA DiDi KeMpOt”
See? Alasan seperti apa? Apakah alasan-alasan dalam pengaduan tersebut seluruhnya objektif? Hmmm...

3.  “Banyak sinetron nggak mutu di Indonesia, kenapa nggak ngurusin itu aja sih? Apa KPID Jabar kurang kerjaan?”
Ini komentar netizen yang paling sering saya baca (dan dengar). Apa benar KPID Jabar kurang kerjaan? Tentu tida dong. Banyak sekali yang harus dilakukan oleh KPID, KPI khususnya. KPI dan KPID bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan terhadap penyiaran publik. Tentunya, jika ada program siaran yang menyalahi aturan dalam UU no 32 tahun 2002 tentang Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3/SPS), KPI dan KPID memiliki wewenang untuk menindaklanjuti program siaran bahkan lembaga penyiaran yang bersangkutan.
Banyak masyarakat yang resah dengan tayangan-tayangan di media Indonesia yang kesannya “kurang mendidique”. Banyak juga pengaduan yang sudah dilemparkan masyarakat dan direspons oleh KPI dengan memberi teguran. Menurut data KPI, kategori program yang ditegur KPI dengan jumlah paling besar adalah dari sinetron dan iklan, yakni sebesar 16,3%, kemudian disusul oleh program berita sebesar 9,8%, FTV 8,9%, Reality Show 81%, serta musik dan talkshow masing-masing 7,3%. Artinya, KPI dan KPID punya banyak sekali PR yang masih belum tuntas soal ini, pasalnya keresahan masyarakat nggak tuntas hanya dengan sebatas teguran saja. Lagipula teguran-teguran itu tinggallah “teguran” karena dikalahkan oleh industri media yang punya kepentingan ekonomi dan politik yang tinggi. Program-program yang ditegur nggak jarang cuma berhenti siaran selama beberapa hari, lalu kemudian muncul lagi dengan nama yang berbeda namun kualitas yang tetap sama buruknya (you know program-program apa yang dimaksud). Sementara itu, musik menduduki tingkat paling rendah dalam hal teguran, namun KPID Jabar seolah berkoar-koar “membela” hak-hak khalayak dalam memeroleh siaran yang baik tanpa pemikiran matang. Kebijakan pembatasan 17 lagu ini hanya memperlihatkan bahwa KPI, khususnya KPID Jabar layaknya hyena yang berani pada mangsa-mangsa kecil, namun takut pada singa (industri media raksasa dan segala kepentingan ekonomi politiknya).

4.  Every F word means sexual content
Mungkin banyak juga yang penasaran, apa dasarnya ke-17 lagu ini dilabel sebagai lagu yang bermuatan cabul dan seksual? Memang ada beberapa lagu yang mengumbar muatan seksual secara eksplisit (Recording Industry Association of America (RIAA) melabeli konten ini dengan Parental Advisory Label, di Indonesia pun ada). Namun beberapa lagi bahkan sulit untuk mengidentifikasi muatan seksual di dalamnya. Lupakan Bruno Mars, he’s well known as a sex dragon anyway (anehnya cuma dua lagu Bruno Mars yang masuk dalam daftar).  
Jika dilakukan analisis isi terhadap banyak lagu-lagu lainnya, lagu-lagu bermuatan seksual lebih banyak dari hanya 17 lagu yang terdaftar ini. Bahkan nggak cuma lagu berbahasa Inggris, yang berbahasa Indonesia pun ada. Terus, apa daftar ini akan selamanya berjumlah 17 lagu? Akan makan waktu banyak jika KPI/KPID harus melakukan analisis isi terhadap semua lagu dari yang paling jadul hingga yang akan rilis bertahun-tahun berikutnya, dan lama-kelamaan, nggak ada lagi lagu yang layak untuk di putar di media massa, dong.
Jika lagu-lagu tersebut bermuatan kata “fuck” sebagai indikator dinyatakan bermuatan seksual, then, jangan lupa kalau kata “anjing” di Indonesia memiliki banyak makna. Masih banyak lagu lain yang bermuatan seksual, let’s say California Girls (Katy Perry), I Kissed A Girl (Katy Perry), Peacock (still from Katy), I don’t F*** With You (Big Sean), Bodak Yellow (Cardi B), and please tell me how about Intim Berdua by Ada Band?!
Lagi-lagi, sebuah lagu memiliki sifat kontekstual, situasional, ekspresif dan segmented. Sebagai salah satu media untuk berekspresi, lagu bisa saja bermuatan lirik dan gambaran audio visual yang terkesan sensual. Namun sebuah lagu memiliki konteks. Just because there’s an F word on it doesn’t always mean that the context is all about sex. Now, I dare you to explain, what’s the context behind the lyrics of Peacok by Katy Perry? Is it really tell a story about peacock bird or what? Apakah lagu Bodak Yellow menceritakan tentang masa lalu Cardi B yang seorang penari striptis untuk mencari uang atau sebuah gambaran perilaku seksual?
Dalam hal segmen, jika 17 lagu tersebut dikategorikan ke segmen dewasa, maka betul adanya. Jika dikaji dari segmen budaya nya, maka jelas lagu-lagu tersebut segmentasi-nya bukan masyarakat Indonesia yang memahami budaya ketimuran. Dengan adanya perbedaan budaya yang dipahami, saya rasa nggak semua orang di Indonesia, apalagi anak-anak, memahami betul maksud dari lagu-lagu itu. Apalagi yang bernada seksual secara implisit.

5. For the sake of “do something than not at all”
Sistem kerja KPID Jabar adalah bekerja di hilir, bukan di hulu. Artinya, sebuah konten baru akan ditindaklanjuti kalau sudah pernah tayang atau dilaporkan. Artinya, lagu lain yang dianggap bermuatan seksual, yang jumlahnya mungkin ratusan, nggak bakalan dapat penanganan apapun selama belum pernah tayang dan dilaporkan. Ini artinya, KPI dan KPID tidak bisa melakukan  antisipasi terhadap konten siaran yang “mungkin” akan berdampak buruk suatu saat di masyarakat. Lalu setelah pembahasan panjang bersama para ahli untuk menetapkan daftar 17 lagu terlarang ini, apa langkah selanjutnya? Nyatanya ruang lingkup KPID Jabar hanya sebatas media lokal, yang kalau boleh jujur, audiens nya nggak seberapa ini. Kalau memang salah satu alasan kebijakan ini dibuat adalah untuk melindungi audiens anak-anak dari konten-konten bernada seksual, maka bisa di bilang tindakan ini unfaedah. KPID seharusnya lebih tau, bahwa masing-masing lembaga penyiaran juga punya segmentasi audiens, selain itu KPID seharusnya juga lebih tau bahwa anak-anak, generasi Z, adalah generasi digital natives, yang mungkin, pada segmentasi ekonomi tertentu, sudah nyaris meninggalkan media mainstream dan beralih ke media streaming yang sama sekali tidak ada perlindungan dari KPI/KPID. Kebijakan ini malah dianggap ngawur oleh broadcaster karena dianggap dapat mematikan siaran radio lokal. Kalau lagu-lagu top hits dilarang diputar di radio, otomatis radio berpotensi kehilangan pendengar setianya.
Walaupun melalui proses pertimbangan dengan melibatkan para ahli (katanya), namun kebijakan ini masih berasa seperti kurang landasan ilmiah. Kalau saja sebelum menetapkan kebijakan KPID Jabar mau melakukan advanced research tentang lagu-lagu dengan muatan seksual tersebut dan pengaruhnya terhadap anak-anak, dan memeroleh pembuktian dari riset, bahwa secara ilmiah lagu-lagu tersebut memang berpengaruh buruk terhadap anak-anak, maka KPID Jabar punya kekuatan lebih untuk mempertahankan gagasannya di depan khalayak.
Dialog publik ini pun terasa sama unfaedah-nya kala KPID Jabar tetap ngotot dengan segala keputusannya walaupun menerima kritik dari berbagai pihak. Apalagi rasanya agak terlambat untuk mengadakan dialog publik ketika kebijakan sudah terlanjur diimplementasi. Satu hal yang pasti, menurut pihak KPID Jabar sebagai statement penutup: “better do something, than not at all”.



You Might Also Like

0 Comments