source: pinterest |
Tidak seorang pun yang menduga
kalau pada Jumat, 15 Maret 2019 lalu, akan menjadi hari yang kelam dalam
sejarah Christchurch, New Zealand. 50 orang meninggal dalam peristiwa
penembakan massal di dua masjid di kota Christchurch. Mereka yang berniat
menjalankan ibadah di hari baik umat Muslim tersebut tidak tahu kalau hari itu
mereka akan mati sebagai martir.
Teror di Christchurch Jumat itu
jadi bukti, bahwa aksi terorisme, yang sejak 9/11 sering disangkutpautkan
dengan Islam, jelas-jelas aksi yang tidak beragama. Terrorism has no religion, they
said, and it’s true. Dalang dari teror ini adalah Brenton (f*ckin’) Tarrant, seorang ekstremis
sayap kanan yang anti imigran asal Australia. Biadabnya, ia menembaki puluhan
orang tak bersalah sambil live streaming
di Facebook. Like, what was he up to?
Viewers? Likes? Shares? Yes. Tujuan utama dari terorisme adalah menebar
ketakutan. Benar saja, lebih dari 1,5 juta video nya tersebar di Facebook, dan
di tonton oleh jutaan orang. Mengundang opini dan sudut pandang berbeda dari
setiap orang yang menyaksikan.
Pembantaian terhadap imigran, kelompok
ras atau agama tertentu, dan kelompok-kelompok marginal lainnya bukan hanya
sekali atau dua kali terjadi. Ini sudah terjadi berkali-kali. Let’s recall the memories about what Nazi
has done to the Jews, and what Israel has done to Palestine, what about Iran
and Syiria? Kebencian terhadap suatu ras dan agama tertentu telah mendorong
manusia kehilangan akal sehat dan hati nurani.
Human are becoming easily agitated by the notion that a specific race will
soon be outnumbered and subjugated because of some other races’ population
growth.
Dalam manifesto Tarrant, known
that he has an obsession to white supremacy over other races. So, what’s white
supremacy about?
White supremacy diawali
dari gagasan yang diyakini oleh ras kulit putih yang (sejak dulu) merasa bahwa
ras mereka memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding ras lainnya di muka
bumi. Gagasan ini yang akhirnya membuat terjadinya diskriminasi terhadap ras
kulit hitam di Amerika dan Eropa bertahun-tahun silam. Menurut para pakar dari
berbagai disiplin, ras dibentuk oleh penguasa-penguasa Eropa yang mengkonstruk
karakteristik budaya dan perilaku yang mengaitkan ciri-ciri superior pada
bangsa Eropa, dan ciri-ciri inferior pada bangsa Indian dan kulit hitam.
Sementara hal ini diamini oleh ras lainnya yang kerap menganggap bangsa kulit
putih sebagai bangsa yang superior, terpandang, dan unapproachable. Seperti halnya masih banyak orang Indonesia yang
suka caper dan memuja “bule” secara berlebihan, yang sering
dikaitkan dengan postcolonialism.
Gagasan "white genocide"
pun menjadi dogma di kalangan white
supremacist. Manifesto tentang genosida kulit putih asli, yang penuh dengan
gagasan tentang nativisme dan rasisme yang ditulis oleh David Lane (who killed a Jewish radio announcer,
Alan Berg in 1984). Berbagai gagasan yang men-trigger para ekstremis sayap
kanan, termasuk Tarrant, berkembang di Eropa. Salah satunya adalah “Le
Grand Remplacement” yang mengusung ide bahwa populasi kulit putih Prancis
digantikan oleh imigran Muslim yang tiba secara massal dari bekas jajahan di
Afrika Utara.
Namun, apakah hanya white
supremacy yang jadi ancaman besar berkembangnya radikalisme dan terorisme?
Jangan lupa, kalau umat Muslim
pun nggak bisa serta-merta “cuci tangan” dengan aksi-aksi teror di berbagai
belahan dunia. Nama Islam di mata dunia tidak akan pernah bersih dari
bayang-bayang teror 9 September 2001, dan teror-teror di Eropa yang didalangi
oleh imigran Muslim. Indonesia sendiri juga berpotensi menjadi inkubator paham
radikal mengingat dalam beberapa tahun terakhir saja, sudah banyak aksi-aksi
teror, yang tak bisa disangkal, dilakukan oleh oknum-oknum Muslim yang tak
bertanggung jawab. It seems like
everybody knows about ISIS dan kejahatan kejahatan apa yang mereka lakukan
atas nama Islam. Memaksakan konsep negara kekhalifahan diseluruh penjuru bumi,
menghalalkan darah mereka yang dilabel sebagai kafir, bahkan saudara se-imannya
sendiri. Ini adalah bukti bahwa tindakan ekstremis yang dilakukan oleh Muslim
atas nama Islam pun tidak lebih baik dari apa yang dilakukan oleh para white supremacist.
Pun akhir-akhir ini rasanya
Indonesia makin rentan radikalisme. Paham-paham radikal tumbuh subur dengan
gampangnya diantara para konservatif akibat adanya fanatisme berlebihan akan
suatu ideologi. Persekusi terhadap minoritas di Indonesia makin menjadi-jadi,
dan jangan menutup mata akan fakta bahwa gagasan anti non-muslim pun berkembang
luas ditengah-tengah masyarakat urban dan sub-urban Indonesia. Hingga adanya perdebatan
dari para pihak “kanan” tentang pergantian istilah Kafir menjadi Non-Muslim,
yang menurut saya hanya buang-buang tenaga. Lebih parahnya lagi, di Indonesia,
rasisme terjadi bahkan antar sesama muslim. Beberapa kelompok muslim memandang interpretasi
agama mereka sebagai yang paling benar, dan menyalahkan interpretasi orang
lain.
Ada kesamaan antara fenomena yang
terjadi di dua belahan bumi yang berbeda ini. Keduanya sama-sama digerakkan
oleh fear, atau rasa takut. Sangat mudah menggugah massa dengan menggunakan
ketakutan. Misalnya saja ketakutan akan autisme menggerakkan para anti-vax untuk menolak vaksin, atau
ketakutan akan kanker menggerakkan para anti tanaman Genetically Modified (GM). Sama juga cara kerjanya untuk
menggerakkan para anti-immigrant. Padahal banyak dari ketakutan-ketakutan itu
bahkan nggak terbukti secara akademis,
but people don’t care as long as they think could protect themselves.
Counterargument tentang gagasan semacam White Genocide dan Grand
Replacement adalah, logika bahwa dominant
culture merasa terancam oleh keberadaan subculture
yang mereka anggap sendirinya tidak lebih baik dibanding mereka secara etnis,
ekonomi, dan kelas sosial.
The main problem is, Ideologi-ideologi
di dunia seolah terdikotomi menjadi sayap kiri atau sayap kanan. Liberal atau
konservatif. Can’t we just stand in the
middle? Bagaimana mungkin suatu ras atau kelompok agama tertentu merasa
superior dibanding ras atau kelompok agama lainnya, dan bagaimana mungkin
kelompok tertentu meyakini bahwa pemahamannya adalah sebuah kebenaran absolut
sehingga siapapun yang tak sepemikiran adalah bentuk kesalahan?
source: giphy |
It’s easy to compartementalize people into two sides. It divides people
into two crowds with different dogmas. Then encourage people’s sense of
belonging to the side they’re in. Sense of belonging membuat orang merasa
seperti “dimiliki”, “jadi bagian”, “gue
banget”, dan “penting” dalam suatu kelompok. Ini adalah cara yang sangat
ampuh untuk menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu secara sukarela demi
membela sisi atau kelompok mereka. Kita semua harus menentang persepsi negatif
terkait dengan ras. Setuju dengan McPhail, perlu adanya perbaikan pola
komunikasi antar kelompok ras dan agama.
And it can’t be worse if it’s not about politics. Sudah jadi
rahasia umum kalau isu terkait ras dan agama punya agenda politik di baliknya.
Lihat saja betapa panasnya tahun politik ini, kampanye bahkan sudah menjalar
masuk ke dalam kelas-kelas keagamaan. Trump,
himslef, is well known as an anti-immigrant, while Australian senator, Fraser
Anning, explicitly declare his rigth-winged self in front of the media.
Mengerikan memang menyadari bahwa banyak orang-orang rasis macam ini punya
power yang sangat besar.
It’s funny to think that someone could think they are superior just
because they have a brighter skin tone. It doesn’t make sense, is it? Sadly
most of people has lost their sense. That’s why, I refuse to be either far right or far left. I choose to stand in the
middle.
In the deep condolences for what
happened in New Zealand, Palestine, Iran, Syiria, Rohingya, and many other
places where inequality and discrimination are still haunting.
Referensi:
Jandt, F. E. (2013). An Introduction to
Intercultural Communication. California: SAGE Publications.
Pazzanese, C. (2019, March 22). Probing the roots
and rise of white supremacy. Accessed from The Harvard Gazette:
https://news.harvard.edu/gazette/story/2019/03/harvard-fellow-examines-rise-and-roots-of-white-supremacy/
Vinocur, N. (2019, March 22). How European ideas
motivated Christchurch killer. Accessed from Politico: https://www.politico.eu/article/christchurch-new-zealand-muslim-how-european-ideas-motivated-killer/