Sulitnya Menerapkan Self-Acceptance di Tengah Standar Kecantikan Postmodern
Communication and Media Studies 12:00 PM
“I'm
so f*ckin' sick and tired of the Photoshop
Show
me somethin' natural like a*s with some stretchmarks”
– Kendrick Lamar
Potongan lirik dari salah satu
hits yang dinyanyikan oleh Kendrick Lamar ini seolah menggambarkan betapa kini
keaslian jadi sesuatu yang langka di media sosial. Untuk menutupi rasa tidak
puas akan body image, nggak sedikit
perempuan mati-matian mengedit foto diri dengan berbekal skill Photoshop dasar. Menghapus jerawat, membuat pipi tampak lebih
tirus, mengecilkan tampilan perut dan paha, mengedit stertchmarks, menambah
brigthness agar kulit terlihat putih. Semua dilakukan demi mendapatkan image
ideal dimata orang-orang yang melhat.
Belum lama ini seorang influencer Indonesia mendapatkan backlash dari banyak viewers-nya setelah mengunggah video
tentang tutorial Photoshop untuk terlihat kurus. Banyak orang mengapresiasi
kejujurannya untuk membuka diri ke publik terkait foto-fotonya yang melalui
tahap editan. But there’re some people threwing criticism at her, saying
it’s not an act of promoting self-acceptance.
Source: Giphy |
Masih dari dunia maya, salah
seorang dokter SpKK yang saya follow
di Instagram kerap berbagi pengalaman dari banyak perempuan yang kulitnya rusak
akibat sembarangan memakai krim-krim pemutih bersteroid yang dijual oleh oknum
nggak bertanggung jawab. Hal ini jadi bahan refleksi, betapa banyaknya
perempuan yang merasa tidak percaya diri dengan warna kulitnya sampai-sampai
membahayakan diri sendiri agar bisa mendapatkan kulit putih.
Well, I’m not here to judge.
Saya nggak ingin menjustifikasi tindakan mengedit foto atau menggunakan krim
pemutih sebagai wujud tindakan yang tidak mencintai dan menerima diri sendiri.
Tapi konsep self-acceptance adalah
sesuatu yang tampaknya harus direnungkan oleh setiap orang.
Self-acceptance sejatinya adalah suatu konstruk ilmiah tentang bagaimana
seseorang melihat dirinya sendiri dan menerima akan kelebihan dan kekurangan
yang ada dalam diri. Menerapkan self-acceptance
jadi sulit karena manusia cenderung untuk memberikan penilaian terhadap diri
sendiri terkait fisik, perilaku, dan pencapaiannya. Belum lagi, adanya social pressure dan stereotiping berkaitan dengan self-image
yang ideal, terutama berkaitan dengan “kecantikan”.
Nggak heran banyak perempuan di
luar sana yang merasa tidak percaya diri akan bentuk tubuh dan warna kulitnya,
sehingga harus memaksakan diri untuk merubah penampilannya, mulai dari yang
paling gampang, mengedit foto, hingga membeli produk dan melakukan treatment
yang harus merogoh kocek dalam-dalam. Bahkan banyak orang yang rela menahan
sakitnya pisau bedah demi memenuhi standar kecantikan yang dibangun masyarakat.
But we can’t simply blame
others for being so inconfident. Kita nggak pernah lepas dari tekanan
sosial untuk memenuhi standar kecantikan postmodern yang dikonstruksi oleh
kapitalisme dan media, yang dilanggengkan oleh lingkungan sosial. Makna
“cantik” kian hari kian bergeser, dari tren yang satu ke tren lainnya. Dari
rambut lurus papan ke keriting gantung, dari matte complexion ke glass
skin look, dari curvy ke skinny, on and on. Industri
kecantikan nggak akan pernah berhenti berkembang dan menciptakan tren-tren
serta inovasi baru untuk menunjang keberlangsungannya.
Media pun belum jera-jeranya
membingkai narasi basi tentang image
“cantik ideal” yang sering diasosiasikan dengan warna kulit putih mulus tanpa stretchmark
atau bekas PIH, bentuk badan yang kurus semampai, hidung mancung, wajah tirus,
dagu lancip, dan berbagai kriteria lain yang nggak ada habisnya. Lihat saja
bagaimana sosok perempuan cantik digambarkan oleh media dalam film atau
sinetron, hingga iklan produk kosmetik ditampilkan melalui sosok-sosok model dengan
kriteria fisik tersebut. Bahkan menggunakan kriteria ras tertentu sebagai acuan
image cantik, yang dampak terburuknya
adalah, membuat kita merasa lebih inferior dari ras lainnya. Merasa bahwa
kriteria fisik yang ada pada “bule”
lah yang disebut dengan “cantik”, dan jadi nggak menghargai keunikan ciri fisik
dari ras sendiri.
Faktor-faktor itu tanpa sadar
membuat kita, sebagai konsumen, terhegemoni dengan konstruk cantik yang
demikian, dan akhirnya membebani diri sendiri untuk dapat memenuhi standar tersebut,
simply agar kita dapat diterima oleh lingkungan sosial. Kita pun jadi
menganggap sifat-sifat yang nggak sesuai dengan kriteria cantik tersebut
sebagai sesuatu kekurangan diri yang harus diperbaiki. And it does hurt your
self-acceptance.
Source: Giphy |
Yet if you feel inconfidence
with your body or your skin tone, or even feeling unhappy with your
stretchmark, please don’t be so hard on yourself. Tak pantas pula rasanya
untuk judging pada orang-orang yang melakukan editing atau
melakukan plastic surgery sebagai pribadi yang tidak bersyukur. The
pressure is real. Bukan salahmu untuk nggak puas akan diri sendiri. Salahkan
media dan kapitalisme yang sudah membangun konsep “cantik” yang diyakini
masyarakat masa kini.
Latihan menerapkan self-acceptance dimulai dair diri
sendiri. Salah satu caranya adalah dengan merubah pandangan diri tentang arti
cantik yang sesungguhnya. Menyadari bahwa tidak semua hal dalam diri perlu
untuk diubah, dan memahami risiko yang harus ditanggung akibat terlalu
memaksakan diri dalam mengubah penampilan. Cantik itu tidak harus putih, dan
tidak perlu pula jadi kurus. Jangan membahayakan diri dengan mengonsumsi
produk-produk kosmetik yang tidak jelas kandungan dan keamanannya. Tidak perlu
pula panik kalau wajahmu nggak semulus filter
Insta story setiap hari.
Bukan berarti kamu harus
berpasrah saja saat kulit breakout
atau bobot tubuh meningkat drastis. Self-acceptance
bukan berarti membiarkan hal-hal yang mungkin dapat berdampak buruk terjadi
pada diri sendiri. Bukan berarti pula menggunakan produk
makeup dan skin care sebagai kebalikan dari self-acceptance, ya. To wear
or not to wear makeup adalah bagian dari identitas diri. Sementara merawat
diri dengan skin care, hair care dan body care adalah bentuk menghargai diri.
Yang salah adalah obsesi berlebihan untuk tampil sempurna, hingga akhirnya
nggak pede lagi untuk sekedar menunjukkan bare
face atau memakai baju yang body-fit.
Source: Giphy |
Don’t use them to impress
others, use them for the sake of your happiness. Tak peduli apakah orang
lain suka atau tidak. Toh setelah berusaha menyamai standar cantik yang
ditentukan, masih ada saja orang-orang yang usil mengomentari fisik. Itu semua
karena makna cantik itu sendirinya bersifat relatif dari budaya yang satu ke
budaya lainnya. Embrace your flaws. That’s when you reach
self-acceptance. Katanya, kebahagiaan dan self-acceptance itu
berjalan beriringan. Semakin tinggi tingkat self-acceptance, semakin
tinggi pula tingkat kebahagiaan.
Jadi, sudah seberapa besar
usahamu untuk menerapkan self-accceptance?
Tulisan ini telah diterbitkan di halaman Editorial Female Daily Network dengan judul "Ini Alasan Self-Acceptance Sulit Diterapkan Di Dunia Modern" pada 28 Agustus 2019